Selasa, 25 September 2012

my brother #karya : ihnayah

Namaku Ify. Aku berasal dari keluarga yang berada. Aku hidup bahagia dengan keluargaku. Ibuku seorang guru TK yang tidak pernah menelantarkan anak-anaknya. Ia selalu tahu bagaimana cara memanjakan anaknya yang merassa kesepian dengan seorang Ayah. Dan Ayahku seorang direktur utama di sebuah perusahaan industry yang sangat terkenal. Hidupku berkecukupan.

Namun, aku mempunyai seorang adik yang cacat. Dia adalah Ray. Aku malu dengan kondisi fisiknya. Setiap ada temanku yang meminta bermain di rumahku. Selalu aku tolak. Aku tak mau mereka tahu bahwa aku mempunyai seorang adik yang cacat. Aku malu.

Apa lagi, Angel, dia adalah musuhku di sekolah. Aku tak tahu bagaimana asal mula aku dengannya bisa bermusuhan. Dulu dia pernah mengatakan, bahwa aku ini adalah perebut apa yang dia inginkan menjadi miliku. Dia selalu saja mencari-cari kejelekanku untuk di sebarkan ke seluruh sekolah. Aku benci dia. Dan aku tak mau Angel tahu bahwa aku mempunyai adik yang cacat.

Dan orang yang pertama yang tidak inging dia mengetahui aku mempunyai saudara cacat adalah Rio. Dia adalah ketua OSIS sekaligus Basket. Aku sudah lama menyukainya. Dan sepertinya dia juga menyukaiku. Dan karena hal itulah Angel makin membenciku karena aku dekat dengan Rio. Bukankah itu adalah hak setiap orang?
Satu lagi. Aku tidak ingin sahabat-sahabatku tahu tentang ini. Sivia dan Agni. Bisa-bisa mereka menjauhiku karena aku mempunyai saudara yang cacat, dan idiot.

Bruukk..

Ray menabrakku. Aku hampir saja terjungkal ke belakang kalau saja tidak berpegang tangan pada sofa. Sementara Ray sudah duduk manis di lantai. Dia menundukkan kepalanya.

“Di sini itu rumah! Bukan panti asuhan yang biasa kamu lari-larian sesuka hati kamu!” aku hanya membentaknya sedikit. Aku tidak suka kekerasan. Walau aku membencinya. Tapi aku sama sekali belum pernah mengeluarkan kekerasan padanya.

Aku ingat betul. Ray suka main ke panti asuhan kasih bunda. Di sana ada salah satu temannya yang tidak di sengajanya bertemu di lampu merah. Terkadang aku merasa heran kenapa teman-temannya tidak malu berteman dengan Ray? Aku yang kakanya saja malu mempunyai adik sepertinya.

TOK… TOK…

Pintu kamarku diketuk seseorang. Aku bangkit dari tidurku dan membukanya perlahan. Terlihatlah wajah Ibuku yang lelah karena mengajar anak TK.

“Kamu apain Ray sih?” tanyanya to the point.

Aku menghela napas. Anak itu pasti mengadu. Walau Ray tidak bisa berbicara dengan lancar dan benar. Tapi Ibuku dan Ayahku mengerti apa yang di maksud.

“Aku Cuma bilang ke dia kalau di rumah jangan lari-larian, di sini bukan panti asuhan”

“Bohong! Kamu pasti membentaknya lagi kan?”

Aku merengut kesal. Selalu saja aku yang salah. Bahkan saat Ray jatuh pun aku yang di salahkan. Mereka mengira aku yang mendorong Ray. Padahal, menyentuh ujung kukunya saja aku tidak pernah.

“Kalau Ibu nggak percaya ya udah! Yang jelas, aku udah ngomong jujur!” nadaku sedikit meninggi. Aku menutup pintu kamar dengan kasar. Sehingga menimbulkan suara yang keras. Mungkin diluar sana Ibu terkaget-kaget.

~~

Aku menuruni anak tangga satu-persatu. Aku merasa senang jika bersekolah. Itu membuat aku melupakan wajah Ray yang menyebalkan dan bebas dari tuduhan mencelakai Ray.

“Ify, nanti Ayah antar ya?”

“Hah? Serius Yah? Asyiiiik…. Udah lama nggak diantar Ayah”  aku berseru girang. Ayah hanya tersenyum melihat tingkahku.

Kemudian Ibu menyerahkanku segelas air susu yang hangat sambil berujar, “Iya, nanti Ray ikut, dia kan belum pernah pergi sama kamu Fy”

Mendadak keceriaan itu lenyap saat mendengar kata Ray. Aku melirik Ray tajam. Ini bisa gawat. Ray akan ikut mengantarkanku sekolah. Dan itu berarti teman-temanku akan tahu bahwa Ray adikku cacat? Gimana kalau Rio sampai tahu tentang ini? Dia pasti akan menjauhiku.

“Ngapain sih Ray itu ikut? Aku nggak mau kalau dia ikut aku ke sekolah!”

“Ify!” ibu membentaku. Aku cukup kaget mendengarnya. “Kamu ini kenapa sih?”

“Aku malu bu.. aku malu sama temen-temen kalau aku punya adik cacat kayak dia!”

“Ify!” kini Ayahku yang membentak. Aku heran. Aku selalu diperlakukan berbeda dengan Ray. Padahal aku itu normal. Aku cantik. Sementara Ray? Apa aku ini anak angkat?

Akhirnya. Aku berangkat sekolah bersama Ayah dan juga Ray. Aku lebih banyak diam. Sementara Ray. Dia lebih banyak buka mulut. Aku duduk di belakang sendirian. Ray dan Ayah duduk di depan.

“Ayah, udah sampai sini aja” pintaku. Namun Ayah sama sekali tidak mendengar pintaanku. Ayah terus melajukan mobilnya hingga tepat berada di gerbang sekolah. Aku merengut kesal.

Aku turun dari mobil dan mencium tangan Ayah. Aku melirik sekelilingku.

“Ify, sama Raynya..” seruan Ayah membuat langkahku berhenti. Aku berbalik dan mendekat ke arah Ayah.

“Ayah mau buat aku malu? Aku nggak mau!” aku bergegas meninggalkan mobil itu. aku takut Rio melihatnya tadi.

Dan kali ini aku selamat.

~~

“Ify, nanti pulang sekolah ada acara nggak?” Rio menghampiri dan duduk disebelahku. Aku gugup dibuatnya.

“Ng.. nggak ada Yo, kenapa emangnya?” jantungku berdentum-dentum layaknya drum yang dipukul keras.

“Kita jalan yuk!”

Ya Tuhan. Mimpi apa aku semalam? Aku tak menyangka akan mendapat keberuntungan di pagi-pagi ini. Aku merasa ada yang menatapku tajam. Aku tahu itu Angel. Dia pasti iri. Selama inikan Rio sama sekali belum pernah dekat dengannya. Aku tersenyum menang ke arahnya.

“Fy, mau yah?” aku mengangguk pasti. Rio tersenyum senang.

~~

“Heh! Maksud lo apa ajak Rio jalan?” Angel mendorong bahuku. Sivia melotot mendengarnya. Sementara Agni sepertinya ingin meninjunya. Tapi aku sudah menahannya lebih dulu.

“Rio yang ngajak gue jalan! Kenapa, lo nggak terima?” aku maju selangkaj menghadapnya.

Angel tersenyum licik, “Gue selalu nerima takdir ya, emangnya elo! Yang nggak menerima takdir kalau punya adik cacat! Ckckck!” kedua teman Angel tertawa.

Wajahku memucat. Jantungku berdebar kencang. Apa yang dia bilang? Bagaiman dia tahu kalau aku mempunyai adik yang cacat.

Sivia menyentuh pundakku, “Fy, apa bener?”

Aku seakan tidak mendengar pertanyaan Sivia. Aku malah berlari menjauh dari orang-orang itu. aku malu. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa? Aku tak tahu harus menjawab apa ketika mereka menanyakan hal itu.

“Ini semua gara-gara kamu ya!! Kalau kamu tadi nggak ikut Kakak, temen-temen Kakak pasti nggak bakal tau kalau kakak punya adik kayak kamu!” aku membentak Ray yang sedang bermain mobil-mobilan.

“A.. a… ma… lu…??” tanyanya terbata-bata, dan aku tak mengerti apa yang dibicarakannya.

“Kakak nggak ngerti apa yang kamu omongin!”

Aku malu. Aku benci dengan kehidupan ini. Kehidupan yang sebenarnya membuatku bahagia dan sempurna harus pecah gara-gara adikku yang CACAT!

Aku bahkan membatalkan janjiku dengan Rio. Aku tidak sanggup jika Rio ikut-ikutan bertanya tentang adikku. Aku yakin berita itu pasti sampai di telinga Rio.

“Jadi bener, adik lo cacat?” Agni seakan tidak percaya dengan pengakuanku. Aku tahu. Lama-kelamaan aku tidak bisa lagi menyembunyikan hal ini pada sahabt-sahabatku. Aku akan terima jika mereka menjauhiku. Aku terima.

Sivia menyentuh pundakku perlahan, “Gue salut sama elo Fy, lo masih mau ngakuin adik lo itu”


Aku kaget dengan pengakuannya. Aku pikir… mereka….

Agni menyentuh pundakku yang satunya lagi, “Iya Fy, walau pun adik lo cacat, elo sama sekali nggak berbuat kasar sama dia, gue bangga punya sahabat kayak lo” ucapnya lalu memeluku. Aku balik memeluk mereka.

“Tapi, Rio kira-kira bakal nerima adik lo itu nggak ya?” Agni bertanya.

Aku terdiam.

~~

Kejadian kemarin tidak membuatku merasa iba terhadap Ray. Malah aku semakin kesal dengan sikapnya. Aku mencoba berbaik hati dengannya. Tapi, sikapnya yang manja membuatku merasa tidak nyaman dengannya. Aku belum bisa.

PRANG

“Ray!” aku berjalan ke arahnya. Ray baru saja menjatuhkan kotak music yang diberikan oleh Rio. Beginilah sikapnya yang membuatku menjadi kembali kesal. Baru aku lemah lembut terhadapnya. Tapi dia sudah berani masuk ke kamarku dan mengacak-acak semuanya.

“M….a…. af…..”

“Kamu itu nggak akan berubah! Kamu itu cacat! Kakak benci sama kamu!” aku membentak-bentaknya. Aku sudah sebal dengan kelakuannya.

Aku berjongkok dan membersihkan kotak music yang hancur tak berbentuk itu. sekilas aku menatap Ray, matanya berair. Aku tak peduli dengannya.

~~

“Ify, ada Rio di ruang tamu tuh” Ibu memberitahukan. Rio? Gawat! Bagaiman kalau Rio melihat Ray?

Ya Tuhan. Benar saja. Aku melihat Rio yang sedang asyik mengobrol dengan Ray. Aku malu. Aku panggil Ray dan membawanya menjauh dari Rio, dari Ibu, dari rumah. Aku menuju ke taman belakang rumah.

“Mau kamu itu apa sih Ray?! Kamu nggak cukup buat kakak kamu malu?!! Kamu itu cacat! Kamu itu idiot! Kakak malu punya adik kayak kamu!” setelah membentaknya. Aku meninggalkannya.

Aku menemui Rio yang duduk di sofa sambil memandangku aneh.

“Kamu kenapa sih ke sini nggak bilang aku dulu?” tanyanya ketus.

“Loh, kenapa emangnya?” tanyanya balik, aku mendengus kesal, “Itu, adik kamu ya??” Rio melanjutkan.

“Udahlah, ayo kita berangkat!”

~~

Dalam perjalanan. Aku maupun Rio sama-sama bungkam. Tak ada pembicaraan yang keluar dari mulut kami setelah keluar dari rumahku. Tiba-tiba saja, Rio menepikan mobilnya.

“Ray itu adik kamu?”

Kenapa sih, dia masih bertanya tentang itu padaku? Aku lebih memilih diam. Aku menatap keluar jendela.

“Fy… dulu, aku itu punya kakak cacat, aku sayang banget sama dia, aku bangga sama dia, dengan keadaanya yang tidak normal, dia malah lebih jago bermain basket ketimbang aku” Rio berhenti sejenak. Aku menatapnya. Aku melihat mata Rio mulai berkaca-kaca.

“Dan, perlu kamu tahu, dialah yang ngajarin aku main basket”

Aku tidak percaya dengan apa yang barusan Rio katakana. Aku mengakui, Ray lebih cerdas dibandingkan aku.

“Dia yang memberikan aku semangat hidup Fy,, dia yang selalu buat aku nggak merasa kesepian kalau sedang di rumah”

Aku menatap Rio. Aku juga harus mengakui, bahwa aku merasa kesepian jika Ray sedang pergi ke panti asuhan temannya itu. aku………..

“Tapi…. Dia mengorbankan hidupnya demi aku Fy” Rio menghela napas panjang “Ginjalku sebenarnya bermasalah, dan harus dioperasi, dan dengan baiknya Kakakku itu mendonorkan ginjalnya untukku”

“Jika aku tahu, bahwa ginjal satunya bermasalah, aku pasti akan menolak pemberian itu Fy…” Rio membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang melipat di stir. Tubuhnya bergetar.

“Terus, sekarang dia?” ragu-ragu, aku bertanya.

“Dia…. Dia meninggal Fy, aku sedih banget waktu itu, dan saat aku liat Ray tadi, aku merasa kakakku kembali Fy,”

Aku tertegun. Aku tidak menyangkan bahwa Rio, seorang yang sangat sempurna di mata para perempuan ternyata mempunyai seorang kakak yang cacat tapi dia tidak pernah malu untuk mengakuinya. Aku malu pada diriku sendiri.

Aku malu pada dunia. Aku telah menyia-nyiakan seseorang yang berarti dalam hidupku.

Perlahan. Aku merasakan air mataku jatuh. Dan aku merasakan Rio menggengam tanganku erat. Aku menatapnya. Dia pun menatapku lembut.

~~

“Raaaaaaaaaaay……” aku berhambur memeluknya. Mungkin Ray merasa kaget dengan perlakuanku.

Tiba-tiba saja Ray melepaskan pelukannya. Aku kaget.

“K…..a……i……fy…..ai….tu….c…a….ca….t….ai…tu..u…ma……bi….ki…n….ka…….fy…ma….l…u…” ujar Ray. Aku tak mengerti apa yang diucapkannya. Tapi, aku tahu apa maksudnya.

Aku kembali memeluknya erat.

“Nggak Ray, kamu itu nggak cacat, hati kak Ify yang cacat sampai-sampai kak Ify malu punya adik kayak kamu. Kak Ify sadar, kak Ify salah, Ray mau kan maafin Kak Ify?”

Ray menatapku tak percaya. Ia mengangguk perlahan. Aku memeluknya lagi. Dan kali ini Ray membalas pelukanku.

Kulihat Ibu dan Ayah tersenyum dari lantai dua. Aku membalas senyumannya.

Tuhan, maafkan aku jika selama ini aku selalu merendahkan ciptaan-Mu. Maafkan aku jika selama ini aku tak bersyukur atas nikmat-Mu. Maafkan aku jika aku merasa akulah yang paling sempurna di dunia ini. Maafkan aku jika selama ini aku menjelek-jelekan ciptaan-Mu.

Tuhan, aku bersyukur karena Kau telah memberikan anugerah yang paling indah dalam hidupku. Aku kini sadar, tak ada yang sempurna di dunia ini selain Engkau. Aku tidak mau mencoba untuk menjadi sempurna. Tapi, aku akan mencoba untuk menjadi yang lebih baik dari pada kemarin, untuk semua orang. Terutama untukmu Adikku, Ray

Tidak ada komentar: