Namaku Ify. Aku berasal dari keluarga yang berada. Aku
hidup bahagia dengan keluargaku. Ibuku seorang guru TK yang tidak pernah
menelantarkan anak-anaknya. Ia selalu tahu bagaimana cara memanjakan
anaknya yang merassa kesepian dengan seorang Ayah. Dan Ayahku seorang
direktur utama di sebuah perusahaan industry yang sangat terkenal.
Hidupku berkecukupan.
Namun, aku mempunyai seorang adik
yang cacat. Dia adalah Ray. Aku malu dengan kondisi fisiknya. Setiap ada
temanku yang meminta bermain di rumahku. Selalu aku tolak. Aku tak mau
mereka tahu bahwa aku mempunyai seorang adik yang cacat. Aku malu.
Apa
lagi, Angel, dia adalah musuhku di sekolah. Aku tak tahu bagaimana asal
mula aku dengannya bisa bermusuhan. Dulu dia pernah mengatakan, bahwa
aku ini adalah perebut apa yang dia inginkan menjadi miliku. Dia selalu
saja mencari-cari kejelekanku untuk di sebarkan ke seluruh sekolah. Aku
benci dia. Dan aku tak mau Angel tahu bahwa aku mempunyai adik yang
cacat.
Dan orang yang pertama yang tidak inging dia
mengetahui aku mempunyai saudara cacat adalah Rio. Dia adalah ketua OSIS
sekaligus Basket. Aku sudah lama menyukainya. Dan sepertinya dia juga
menyukaiku. Dan karena hal itulah Angel makin membenciku karena aku
dekat dengan Rio. Bukankah itu adalah hak setiap orang?
Satu lagi.
Aku tidak ingin sahabat-sahabatku tahu tentang ini. Sivia dan Agni.
Bisa-bisa mereka menjauhiku karena aku mempunyai saudara yang cacat, dan
idiot.
Bruukk..
Ray menabrakku. Aku hampir
saja terjungkal ke belakang kalau saja tidak berpegang tangan pada sofa.
Sementara Ray sudah duduk manis di lantai. Dia menundukkan kepalanya.
“Di
sini itu rumah! Bukan panti asuhan yang biasa kamu lari-larian sesuka
hati kamu!” aku hanya membentaknya sedikit. Aku tidak suka kekerasan.
Walau aku membencinya. Tapi aku sama sekali belum pernah mengeluarkan
kekerasan padanya.
Aku ingat betul. Ray suka main ke panti
asuhan kasih bunda. Di sana ada salah satu temannya yang tidak di
sengajanya bertemu di lampu merah. Terkadang aku merasa heran kenapa
teman-temannya tidak malu berteman dengan Ray? Aku yang kakanya saja
malu mempunyai adik sepertinya.
TOK… TOK…
Pintu
kamarku diketuk seseorang. Aku bangkit dari tidurku dan membukanya
perlahan. Terlihatlah wajah Ibuku yang lelah karena mengajar anak TK.
“Kamu apain Ray sih?” tanyanya to the point.
Aku
menghela napas. Anak itu pasti mengadu. Walau Ray tidak bisa berbicara
dengan lancar dan benar. Tapi Ibuku dan Ayahku mengerti apa yang di
maksud.
“Aku Cuma bilang ke dia kalau di rumah jangan lari-larian, di sini bukan panti asuhan”
“Bohong! Kamu pasti membentaknya lagi kan?”
Aku
merengut kesal. Selalu saja aku yang salah. Bahkan saat Ray jatuh pun
aku yang di salahkan. Mereka mengira aku yang mendorong Ray. Padahal,
menyentuh ujung kukunya saja aku tidak pernah.
“Kalau Ibu
nggak percaya ya udah! Yang jelas, aku udah ngomong jujur!” nadaku
sedikit meninggi. Aku menutup pintu kamar dengan kasar. Sehingga
menimbulkan suara yang keras. Mungkin diluar sana Ibu terkaget-kaget.
~~
Aku
menuruni anak tangga satu-persatu. Aku merasa senang jika bersekolah.
Itu membuat aku melupakan wajah Ray yang menyebalkan dan bebas dari
tuduhan mencelakai Ray.
“Ify, nanti Ayah antar ya?”
“Hah? Serius Yah? Asyiiiik…. Udah lama nggak diantar Ayah” aku berseru girang. Ayah hanya tersenyum melihat tingkahku.
Kemudian
Ibu menyerahkanku segelas air susu yang hangat sambil berujar, “Iya,
nanti Ray ikut, dia kan belum pernah pergi sama kamu Fy”
Mendadak
keceriaan itu lenyap saat mendengar kata Ray. Aku melirik Ray tajam.
Ini bisa gawat. Ray akan ikut mengantarkanku sekolah. Dan itu berarti
teman-temanku akan tahu bahwa Ray adikku cacat? Gimana kalau Rio sampai
tahu tentang ini? Dia pasti akan menjauhiku.
“Ngapain sih Ray itu ikut? Aku nggak mau kalau dia ikut aku ke sekolah!”
“Ify!” ibu membentaku. Aku cukup kaget mendengarnya. “Kamu ini kenapa sih?”
“Aku malu bu.. aku malu sama temen-temen kalau aku punya adik cacat kayak dia!”
“Ify!”
kini Ayahku yang membentak. Aku heran. Aku selalu diperlakukan berbeda
dengan Ray. Padahal aku itu normal. Aku cantik. Sementara Ray? Apa aku
ini anak angkat?
Akhirnya. Aku berangkat sekolah bersama
Ayah dan juga Ray. Aku lebih banyak diam. Sementara Ray. Dia lebih
banyak buka mulut. Aku duduk di belakang sendirian. Ray dan Ayah duduk
di depan.
“Ayah, udah sampai sini aja” pintaku. Namun Ayah
sama sekali tidak mendengar pintaanku. Ayah terus melajukan mobilnya
hingga tepat berada di gerbang sekolah. Aku merengut kesal.
Aku turun dari mobil dan mencium tangan Ayah. Aku melirik sekelilingku.
“Ify, sama Raynya..” seruan Ayah membuat langkahku berhenti. Aku berbalik dan mendekat ke arah Ayah.
“Ayah mau buat aku malu? Aku nggak mau!” aku bergegas meninggalkan mobil itu. aku takut Rio melihatnya tadi.
Dan kali ini aku selamat.
~~
“Ify, nanti pulang sekolah ada acara nggak?” Rio menghampiri dan duduk disebelahku. Aku gugup dibuatnya.
“Ng.. nggak ada Yo, kenapa emangnya?” jantungku berdentum-dentum layaknya drum yang dipukul keras.
“Kita jalan yuk!”
Ya
Tuhan. Mimpi apa aku semalam? Aku tak menyangka akan mendapat
keberuntungan di pagi-pagi ini. Aku merasa ada yang menatapku tajam. Aku
tahu itu Angel. Dia pasti iri. Selama inikan Rio sama sekali belum
pernah dekat dengannya. Aku tersenyum menang ke arahnya.
“Fy, mau yah?” aku mengangguk pasti. Rio tersenyum senang.
~~
“Heh!
Maksud lo apa ajak Rio jalan?” Angel mendorong bahuku. Sivia melotot
mendengarnya. Sementara Agni sepertinya ingin meninjunya. Tapi aku sudah
menahannya lebih dulu.
“Rio yang ngajak gue jalan! Kenapa, lo nggak terima?” aku maju selangkaj menghadapnya.
Angel
tersenyum licik, “Gue selalu nerima takdir ya, emangnya elo! Yang nggak
menerima takdir kalau punya adik cacat! Ckckck!” kedua teman Angel
tertawa.
Wajahku memucat. Jantungku berdebar kencang. Apa yang dia bilang? Bagaiman dia tahu kalau aku mempunyai adik yang cacat.
Sivia menyentuh pundakku, “Fy, apa bener?”
Aku
seakan tidak mendengar pertanyaan Sivia. Aku malah berlari menjauh dari
orang-orang itu. aku malu. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa? Aku
tak tahu harus menjawab apa ketika mereka menanyakan hal itu.
“Ini
semua gara-gara kamu ya!! Kalau kamu tadi nggak ikut Kakak, temen-temen
Kakak pasti nggak bakal tau kalau kakak punya adik kayak kamu!” aku
membentak Ray yang sedang bermain mobil-mobilan.
“A.. a… ma… lu…??” tanyanya terbata-bata, dan aku tak mengerti apa yang dibicarakannya.
“Kakak nggak ngerti apa yang kamu omongin!”
Aku
malu. Aku benci dengan kehidupan ini. Kehidupan yang sebenarnya
membuatku bahagia dan sempurna harus pecah gara-gara adikku yang CACAT!
Aku
bahkan membatalkan janjiku dengan Rio. Aku tidak sanggup jika Rio
ikut-ikutan bertanya tentang adikku. Aku yakin berita itu pasti sampai
di telinga Rio.
“Jadi bener, adik lo cacat?” Agni seakan
tidak percaya dengan pengakuanku. Aku tahu. Lama-kelamaan aku tidak bisa
lagi menyembunyikan hal ini pada sahabt-sahabatku. Aku akan terima jika
mereka menjauhiku. Aku terima.
Sivia menyentuh pundakku perlahan, “Gue salut sama elo Fy, lo masih mau ngakuin adik lo itu”
Aku kaget dengan pengakuannya. Aku pikir… mereka….
Agni
menyentuh pundakku yang satunya lagi, “Iya Fy, walau pun adik lo cacat,
elo sama sekali nggak berbuat kasar sama dia, gue bangga punya sahabat
kayak lo” ucapnya lalu memeluku. Aku balik memeluk mereka.
“Tapi, Rio kira-kira bakal nerima adik lo itu nggak ya?” Agni bertanya.
Aku terdiam.
~~
Kejadian
kemarin tidak membuatku merasa iba terhadap Ray. Malah aku semakin
kesal dengan sikapnya. Aku mencoba berbaik hati dengannya. Tapi,
sikapnya yang manja membuatku merasa tidak nyaman dengannya. Aku belum
bisa.
PRANG
“Ray!” aku berjalan ke arahnya.
Ray baru saja menjatuhkan kotak music yang diberikan oleh Rio. Beginilah
sikapnya yang membuatku menjadi kembali kesal. Baru aku lemah lembut
terhadapnya. Tapi dia sudah berani masuk ke kamarku dan mengacak-acak
semuanya.
“M….a…. af…..”
“Kamu itu nggak
akan berubah! Kamu itu cacat! Kakak benci sama kamu!” aku
membentak-bentaknya. Aku sudah sebal dengan kelakuannya.
Aku
berjongkok dan membersihkan kotak music yang hancur tak berbentuk itu.
sekilas aku menatap Ray, matanya berair. Aku tak peduli dengannya.
~~
“Ify, ada Rio di ruang tamu tuh” Ibu memberitahukan. Rio? Gawat! Bagaiman kalau Rio melihat Ray?
Ya
Tuhan. Benar saja. Aku melihat Rio yang sedang asyik mengobrol dengan
Ray. Aku malu. Aku panggil Ray dan membawanya menjauh dari Rio, dari
Ibu, dari rumah. Aku menuju ke taman belakang rumah.
“Mau
kamu itu apa sih Ray?! Kamu nggak cukup buat kakak kamu malu?!! Kamu itu
cacat! Kamu itu idiot! Kakak malu punya adik kayak kamu!” setelah
membentaknya. Aku meninggalkannya.
Aku menemui Rio yang duduk di sofa sambil memandangku aneh.
“Kamu kenapa sih ke sini nggak bilang aku dulu?” tanyanya ketus.
“Loh, kenapa emangnya?” tanyanya balik, aku mendengus kesal, “Itu, adik kamu ya??” Rio melanjutkan.
“Udahlah, ayo kita berangkat!”
~~
Dalam
perjalanan. Aku maupun Rio sama-sama bungkam. Tak ada pembicaraan yang
keluar dari mulut kami setelah keluar dari rumahku. Tiba-tiba saja, Rio
menepikan mobilnya.
“Ray itu adik kamu?”
Kenapa sih, dia masih bertanya tentang itu padaku? Aku lebih memilih diam. Aku menatap keluar jendela.
“Fy…
dulu, aku itu punya kakak cacat, aku sayang banget sama dia, aku bangga
sama dia, dengan keadaanya yang tidak normal, dia malah lebih jago
bermain basket ketimbang aku” Rio berhenti sejenak. Aku menatapnya. Aku
melihat mata Rio mulai berkaca-kaca.
“Dan, perlu kamu tahu, dialah yang ngajarin aku main basket”
Aku tidak percaya dengan apa yang barusan Rio katakana. Aku mengakui, Ray lebih cerdas dibandingkan aku.
“Dia yang memberikan aku semangat hidup Fy,, dia yang selalu buat aku nggak merasa kesepian kalau sedang di rumah”
Aku menatap Rio. Aku juga harus mengakui, bahwa aku merasa kesepian jika Ray sedang pergi ke panti asuhan temannya itu. aku………..
“Tapi….
Dia mengorbankan hidupnya demi aku Fy” Rio menghela napas panjang
“Ginjalku sebenarnya bermasalah, dan harus dioperasi, dan dengan baiknya
Kakakku itu mendonorkan ginjalnya untukku”
“Jika aku
tahu, bahwa ginjal satunya bermasalah, aku pasti akan menolak pemberian
itu Fy…” Rio membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang melipat di
stir. Tubuhnya bergetar.
“Terus, sekarang dia?” ragu-ragu, aku bertanya.
“Dia…. Dia meninggal Fy, aku sedih banget waktu itu, dan saat aku liat Ray tadi, aku merasa kakakku kembali Fy,”
Aku
tertegun. Aku tidak menyangkan bahwa Rio, seorang yang sangat sempurna
di mata para perempuan ternyata mempunyai seorang kakak yang cacat tapi
dia tidak pernah malu untuk mengakuinya. Aku malu pada diriku sendiri.
Aku malu pada dunia. Aku telah menyia-nyiakan seseorang yang berarti dalam hidupku.
Perlahan.
Aku merasakan air mataku jatuh. Dan aku merasakan Rio menggengam
tanganku erat. Aku menatapnya. Dia pun menatapku lembut.
~~
“Raaaaaaaaaaay……” aku berhambur memeluknya. Mungkin Ray merasa kaget dengan perlakuanku.
Tiba-tiba saja Ray melepaskan pelukannya. Aku kaget.
“K…..a……i……fy…..ai….tu….c…a….ca….t….ai…tu..u…ma……bi….ki…n….ka…….fy…ma….l…u…”
ujar Ray. Aku tak mengerti apa yang diucapkannya. Tapi, aku tahu apa
maksudnya.
Aku kembali memeluknya erat.
“Nggak
Ray, kamu itu nggak cacat, hati kak Ify yang cacat sampai-sampai kak
Ify malu punya adik kayak kamu. Kak Ify sadar, kak Ify salah, Ray mau
kan maafin Kak Ify?”
Ray menatapku tak percaya. Ia mengangguk perlahan. Aku memeluknya lagi. Dan kali ini Ray membalas pelukanku.
Kulihat Ibu dan Ayah tersenyum dari lantai dua. Aku membalas senyumannya.
Tuhan,
maafkan aku jika selama ini aku selalu merendahkan ciptaan-Mu. Maafkan
aku jika selama ini aku tak bersyukur atas nikmat-Mu. Maafkan aku jika
aku merasa akulah yang paling sempurna di dunia ini. Maafkan aku jika
selama ini aku menjelek-jelekan ciptaan-Mu.
Tuhan, aku
bersyukur karena Kau telah memberikan anugerah yang paling indah dalam
hidupku. Aku kini sadar, tak ada yang sempurna di dunia ini selain
Engkau. Aku tidak mau mencoba untuk menjadi sempurna. Tapi, aku akan
mencoba untuk menjadi yang lebih baik dari pada kemarin, untuk semua
orang. Terutama untukmu Adikku, Ray
Tidak ada komentar:
Posting Komentar